Kamis, Desember 31, 2009

SELAMAT JALAN GURU BANGSAKU

GURU BANGSAKU
(Jombang, 07 September 1940 - 30 Desember 2009)

Banyak Pelajaran yang telah engkau berikan pada bangsa Indonesia
Bertindak yang sesuai dengan Ucapan
Istiqomah dalam mengapai tujuan
Memberikan teladan yang baik
Menyatukan kemajemukan

Kini telah meninggalkan kami semua
Jasa-jasamu berbekas pada bangsa Indonesia
Tiada kata yang terbaik untuk di tuliskan kembali

Ya Allah .....
Ampunilah segala dosanya
Terimalah segala Amal ibadahnya
Iman dan Islamnya
Lapangkanlah kuburnya
Tempatkanlah dia pada sisiMU yang terbaik atas K.H. Abdurrahman Wahid

Amin...Ya Robbal Alamin....

( Do'a untuk GURU BANGSAKU, dari PAC Gondanglegi-Malang )




Kamis, Oktober 29, 2009

Riwayat Perjuangan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'

Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' Lahir

Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.

Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.

Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy'ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.

Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa'ud.

Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama "JAM'IYYAH NAHDLATUL ULAMA" dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut:

Ra'is Akbar:Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Wakil Ra'is:KH. Said bin Shalih
Katib Awwal:KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani:Mas H. Alwi Abdul Aziz
A'wan:1. KH. Abdul Halim (Leuwimunding)
2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)
3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang.
4. KH. Said.
5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya.
6. KH. Nahrawi Thahir, Malang.
7. KH. Amin, Surabaya.
8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng
Musytasyar:1. KH. Asnawi, Kudus
2. KH. Ridlwan, Semarang.
3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan.
4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan.
5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri.
6. KH. Hambali, Kudus.

Presiden:H. Hasan Gipo
Penulis:H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo
Bendahara:H. Burhan
Komisaris:H. Saleh Syamil
H. Ihsan
H. Nawawi
H. Dahlan Abd. Qohar
Mas Mangun

Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.

1926-1929

Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam'iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:

  1. Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu: H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik.

    Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya.

  2. Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
    1. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
    2. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
    3. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
    4. Dan lain-lainnya.

Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik.

1929-1942

Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.

Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama' juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.

Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama' mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:

  1. Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
  2. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.

Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:

  • Madrasah Umum, yang terdiri dari:
    • Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
    • Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
    • Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
    • Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
    • Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
  • Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
    • Madrasah Qudlat (Hukum).
    • Madrasah Tijarah (Dagang).
    • Madrasah Nijarah (Pertukangan).
    • Madrasah Zira'ah (Pertanian).
    • Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).
    • Madrasah Khusus.

Kelahiran Al Majlis Al Islamiy Al A'la (MIAI)

Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama' memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.

Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama' telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan sebagai berikut:

Ketua Dewan:KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU
Wakil Ketua Dewan:W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua):H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis:S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara:1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII

Adapun tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:

  • Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
  • Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung dalam MIAI maupun belum.
  • Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.
  • Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.
  • Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.

1942-1952

Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)

Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:

  • Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
  • Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an.
  • Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama' atau kyai yang terkenal.
  • Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
  • Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.

Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama' dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.

Pembentukan laskar rakyat

Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama' di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, semuanya ta'at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama'.

Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama' untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.

Sedang Nahdlatul Ulama' sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama' berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.

Masyumi menjelma sebagai Partai Politik

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.

Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama', Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.

Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November '45

Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.

Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi.

Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:

Majlis Syura (Dewan Partai)
Ketua Umum:Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Ketua Muda I:Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II:KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III:Mr. Kasman Singodimejo
Anggota:1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua:Dr. Sukirman
Ketua Muda I:Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II:Wali Al Fatah
Sekretaris I:Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II:Prawoto Mangkusasmito
Bendahara:Mr. R.A. Kasmat

Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi

Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama'. Sebab Nahdlatul Ulama' selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama' yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama' juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia).

Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama'/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII menjadi partai.

Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 - 19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.

Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama'. Namun PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama' meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama' untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.

Nahdlatul Ulama' membentuk Liga Muslimin

Setelah Nahdlatul Ulama' keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama' mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul Ulama', PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.

Dekade 1965

Selama Nahdlatul Ulama' menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama' muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama' pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain NU.

Keberhasilan Nahdlatul Ulama' dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama'. Nahdlatul Ulama' sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul Ulama' dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama' sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama' yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.

Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama' menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama' harus mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama', kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama' membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama' harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.

Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama' mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama' sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama' yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah politik.

Penyederhanaan Partai-Partai

Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama' keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama' adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.

Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama'. Akan tetapi Nahdlatul Ulama' menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama' tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.

Bagaimanakah kenyataannya?

Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama'. Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama'. Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sejak mula pertama didirikan sebagai jam'iyyah.

Nahdlatul Ulama' Kembali Kepada Khittah An Nahdliyah

Selama Nahdlatul Ulama' berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama' sendiri terdapat banyak ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul Ulama' telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama' secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul Ulama' tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam'iyyah yang ingin berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama' sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama'. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama' dalam kancah politik selama berfusi dalam PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama'.

Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama' secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama' tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama' harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama' Nahdlatul Ulama' (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982.

Disusun oleh:
Drs. KH. Achmad Masduqi

Source: http://pesantren.or.id

Kamis, Mei 14, 2009

Pelantikan Pengurus Ranting GP Ansor Ganjaran


Susunan Pengurus Ranting GP Ansor Ganjaran

Pelindung : Kepala Desa Ganjaran
Penasehat : Pimpinan Ranting NU Ganjaran
:
Uts. HASYIM KHAN
: Ust. SYA’RONI

: H. M. BASHUNI GHOFUR, S. Ag

: SABUR, S.HI, MH

PENGURUS HARIAN :

Ketua : H. YAZID

Wakil Ketua : NAWAWI

Sekretaris : MOCH. KHOLILIH

Wakil Sekretaris : SIROJUL UMAM

Bendahara : AHMADI

Wakil Bendahara : MOCH. SAID

I. Departemen Advokasi

1. Nama : ABDULLOH, S.HI

2. : NIDHOMUDDIN

3. : AHMAD ROMZIH

4. : GUFRON

II. Departemen Pendidikan dan Kaderisasi

1. Nama : MAHMUDIYANTO

2. : AKHMAD KHUFAAJI JAUFAAN, S.A.g, S.Pd

3. : NUR KHOLIS

4. : BUNYANI, S.Hum

III. Departemen Olah Raga dan Kebudayaan

1. Nama : SULHAN SAHAR

2 : AGUS SALIM

3. : FUDLOLI

4. : FATHUL HUDA

IV. Departemen Pemberdayaan Ekonomi

1. Nama : ROMLI

2. : ABDUL ADHIM

3. : SUPARMANTO

4. : ABD. BASYID

5. : H. NUR KHOLIS

V. Departemen Agama dan Ideologi

1. Nama : TOYYIBIN

2. : SULHAN NAYAKI

3. : MUSAFIUDDI

4. : SULHAN

5. : ROHMATULLAH

VI. Departemen Lingkungan Hidup

1. Nama : H. ROHMATULLAH

2. : H.SOHIB

3. : MUNAJI

4. : H. UMAR FARUQ

5. : JUMADI


K.H. Saifuddin Amsir: Jangan Pernah Meninggalkan Ulama


PDF Print E-mail


Bila ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan para ulama....

Sejarah pernah mencatat munculnya sejumlah ulama terkemuka asal Jakarta, atau Betawi dulunya. Mulai dari kebesaran nama Syaikh Junaid Al-Batawi, dari sedikit tokoh ulama asal Indonesia yang berkesempatan mengajar di majelis ilmu terhormat di Masjidil Haram. Setelah itu, ketokohan Habib Utsman Bin Yahya, dengan pengaruh fatwanya yang sedemikian luas, terutama lewat seratus kitab lebih hasil karyanya, yang pengaruhnya terus terasa hingga hari ini. Juga kisah enam Tuan Guru (Guru Marzuqi, Guru Mughni, Guru Manshur, Guru Majid, Guru Ramli, dan Guru Khalid) para jago ilmu tanah Betawi tempo dulu yang hadir sebagai simpul pengikat mata rantai keilmuan dari hampir setiap ulama Jakarta di kemudian hari. Hingga munculnya sosok ulama besar dari bilangan Kwitang yang menghabiskan usianya di jalan dakwah dan penyebaran ilmu-ilmu agama, yaitu Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, pendiri Islamic Centre of Indonesia.

Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan masih menebar hawa sejuk keshalihan di seluruh penjuru kota ini hingga sekarang tatkala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bubungan asap polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta hampir tak pernah sepi melahirkan tokoh-tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syi’ar Islam di Nusantara.

Nama-nama ulama di atas tentunya hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya para ulama dan habaib Jakarta yang telah berhasil menorehkan tinta emas dakwah di masa lalu. Kemunculan para tokoh ulama itu dari waktu ke waktu, menjadi paku kota Jakarta, yang telah berperan sesuai tantangan di zamannya masing-masing. Kehadiran mereka adalah pertanda akan keberadaan gairah ilmu-ilmu agama yang cukup besar. Mereka sendiri besar lewat gairah keilmuan itu, di tengah-tengah kultur pendidikan agama kota Jakarta yang memang tidak banyak memunculkan pondok-pondok pesantren seperti di daerah-daerah lainnya.

Gairah keilmuan itulah yang pada saat ini harus digelorakan kembali keberadaannya. Pada sisi lain, pemandangan keberagamaan masyarakat kota Jakarta saat ini cenderung memberi ruang yang lebih pada mereka yang hanya pandai bermain kata di depan forum-forum diskusi atau di layar kaca. Sebuah pemandangan yang mengundang rasa keprihatinan di sementara pihak yang terus berharap agar gairah keilmuan yang pernah ada tidak lantas tergerus oleh kecenderungan itu.

Di antara mereka, K.H. Saifuddin Amsir, seorang ulama asli Betawi, termasuk yang sangat merasakan keprihatinan tersebut. Pada banyak kesempatan ia sering kali mengingatkan, bila umat Islam ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan para ulama, yang memiliki dasar ilmu yang dalam, dan mudah terpesona oleh retorika sejumlah tokoh dengan sederet titel akademis yang sesungguhnya rapuh dalam keilmuan.

Tak cukup menyimpan rasa prihatin yang mendalam dan berkepanjangan, saat ini ia juga tengah menggarap berdirinya sebuah institusi yang diharapkannya dapat menjadi salah satu pilar gerakan ilmiah dalam menjaga tradisi keilmuan para ulama, sebagai kelanjutan dari dua puluhan lebih majelis ilmu yang telah dirintisnya sejak masih usia belasan tahun.

Bukan dari Kalangan Pesantren
K.H. Saifuddin Amsir bukan putra seorang ulama, dan tidak dibesarkan di lingkungan pesantren. Ia, yang lahir di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1955, tumbuh dan besar di sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Bapak Amsir Naiman, “hanya” seorang guru mengaji di kampung tempat tinggalnya, Kebon Manggis, Matraman. Sedangkan ibunya, Ibu Nur’ain, juga “hanya” seorang ibu rumah tangga yang secara penuh mengabdikan diri untuk mengurus keluarga.

Sejak kecil, putra kelima dari sepuluh bersaudara ini sudah diajari sifat-sifat yang menjadi teladan bagi dirinya kelak di kemudian hari. Dengan keras sang ayah mendidiknya untuk berperilaku lurus dan mandiri. Tidak ada kompromi bagi suatu pelanggaran yang telah ditetapkan ayahnya. Bersama sembilan orang saudaranya, ia dibiasakan untuk menunaikan shalat secara berjamaah.

Keinginan kuatnya dalam menimba ilmu-ilmu agama sudah terpatri kuat sedari kecil. Menyadari bahwa dirinya bukan berasal dari keluarga ulama dan juga bukan dari kalangan yang berada, Saifuddin kecil menyiasatinya untuk berusaha mandiri dan tidak bergantung kepada kedua orangtuanya. Ia berusaha menutupi biaya kebutuhan pendidikannya sendiri, bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

Berkat ketekunannya dalam belajar, ia pun selalu mendapat beasiswa dari pihak sekolah. Kegigihannya dalam terus mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak maupun berguru pada ulama-ulama terkemuka di masa-masa mudanya, telah menjadikannya sebagai salah seorang ulama Jakarta yang cukup disegani saat ini.
Di waktu kecil, selain mengaji kepada kedua orangtuanya sendiri, ia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Washliyah. Di sela-sela waktunya, ia mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak. Ia juga senang membaca berbagai macam bacaan sejak masih kecil. Sewaktu duduk di bangku tsanawiyah, ia mulai banyak berguru ke beberapa ulama di Jakarta.

Di antara ulama yang tercatat sebagai guru-gurunya adalah K.H. Abdullah Syafi’i, Muallim Syafi’i Hadzami, Habib Abdullah bin Husein Syami Al-Attas, dan Guru Hasan Murtoha. Kepada guru-gurunya tersebut, ia mempelajari berbagai cabang ilmu-ilmu keislaman. Pada saat menimba ilmu kepada Habib Abdullah Syami, di antara kitab yang ia khatamkan di hadapan gurunya itu adalah kitab Minhajuth Thalibin (karya Imam Nawawi) dan kitab Bughyatul Mustarsyidin (karya Habib Abdurrahman Al-Masyhur).

Di lain sisi, setelah pendidikan formalnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah usai ia lewati, ia menjadi mahasiswa di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah (UIA) dan mendapat gelar sarjana muda di sana. Kemudian ia merampungkan gelar sarjana lengkapnya di Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atau Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta saat ini.
Dari waktu ke waktu dalam menempuh pendidikan formalnya itu, ia selalu menorehkan prestasi yang gemilang. Sewaktu lulus aliyah, ia tercatat sebagai lulusan aliyah dengan nilai terbaik se-Jakarta. Tahun 1982 ia mendaftarkan diri di Jurusan Akidah dan Filsafat IAIN saat jurusan itu baru dibuka oleh Rektor IAIN Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. dalam sebuah program pendidikan yang saat itu dinamakannya sebagai Program Doktoral.

Karena berbagai prestasi yang telah dicapai sebelumnya, ia menjadi satu-satunya mahasiswa yang diterima di IAIN tanpa melewati tes masuk pada tahun itu. Dan setelah merampungkan masa kuliahnya, di waktu kelulusan lagi-lagi ia tercatat sebagai lulusan IAIN terbaik.

Tidak Berminat pada Gelar
Kiprah kiai yang akrab dipanggil Buya ini dimulai sejak ia masih kecil dengan mengajar ngaji dan menjadi qari’ di beberapa mushalla dan masjid di sekitar daerah tempat tinggalnya. Beranjak remaja, ia mulai dikenal sebagai seorang muballigh.

Pada mulanya, ia sendiri tidak terlalu berminat menjadi seorang penceramah. Ia lebih menyukai mengajar dan menjadi qari’. Karena desakan rekan-rekannya yang mengetahui potensi dirinya dalam berdakwah, ia pun mulai bersedia berdiri di atas mimbar-mimbar ceramah, di samping aktivitas mengajar di belasan majelis ta’lim rutin yang masih diasuhnya hingga saat ini.

Kiprahnya dalam bidang pendidikan formal dimulai saat ia menjadi guru di Yayasan Pendidikan Asy-Syafiiyyah, pimpinan K.H. Abdullah Syafi’i, tempat ia mulai menimba ilmu-ilmu secara lebih intensif. Selain menjadi guru sejak tahun 1976 di Asy-Syafi’iyyah, ia juga menjadi dosen pada universitas yang ada di yayasan tersebut. Pada tahun 1980, saat ia baru menginjak usia 25 tahun, ia dipercaya menjadi kepala sekolah Madrasah Aliyah (MA) Al-Ikhsan, Condet, Jakarta Timur.

Sejak tahun 1986 hingga sekarang, ia bertugas sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di almamater tempat ia sempat menimba ilmu selama beberapa tahun ini, kapasitas keilmuannya membuatnya pernah tercatat mengajar hingga 17 mata kuliah berbeda di sepuluh tahun pertama ia mengajar di sana. Saat itu sistem kepengajaran belum “setertib” sebagaimana sekarang, hingga ia pernah mengajar mata kuliah Ilmu Hadits, Tafsir, Manthiq, hingga mata kuliah Filsafat Barat.

Aktivitas akademisnya ini juga dilengkapi dengan tugas dari instansinya untuk membimbing para mahasiswa dalam melakukan dialog dengan tokoh-tokoh lintas agama dan aliran kepercayaan. Pada tahun 1990 ia mendapat tawaran dari Universitas Nasional untuk menggantikan posisi Dr. Nurcholis Madjid, yang saat itu sedang tidak ada di Indonesia, dalam menulis di jurnal filsafat berskala internasional. Karena beberapa pertimbangan, ia memilih untuk tidak mengambil tawaran itu.

Bila memperhatikan perjalanan hidupnya jauh sebelum ini, ternyata ia juga seorang yang memiliki kepedulian yang kuat dan visi yang jauh terhadap berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat. Di era tahun 1990-an, ia menjadi juru bicara Forum Silaturrahmi Ulama dan Habaib saat menuntut pembubaran SDSB sewaktu berdialog dengan para anggota DPR kala itu.

Saat tuntutan reformasi bergejolak kuat di tahun 1998, ia juga pernah didaulat untuk turut berorasi di kampus UI Depok mewakili komponen masyarakat dan ulama sehubungan dengan tertembak matinya beberapa mahasiswa Trisakti. Pada tahun yang sama, ia berada pada barisan terdepan sebagai deklarator yang menolak minat beberapa LSM untuk membentuk Kabinet Presidium, yang dianggapnya dapat menuntuhkan negara.

K.H. Saifuddin Amsir juga aktif sebagai narasumber pada banyak seminar dan diskusi ilmiah berskala nasional dan internasional, serta pada rubrik-rubrik keagamaan di stasiun-stasiun televisi, radio, dan media cetak. Selain di UIN, ia juga menerima amanah tugas yang tidak sedikit di beberapa institusi lainnya. Di antaranya, ia ditunjuk sebagai direktur Ma’had Al-Arba’in, staf ahli Rektor Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah, dan menjadi anggota Dewan Pakar Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Pada tahun 2004, ia ditunjuk menjadi salah seorang rais Syuriah PBNU.

Di sela-sela berbagai kesibukannya itu, saat ini ia juga masih tercatat sebagai ketua umum Masjid Jami’ Matraman. Namun, setelah sekian lama ia melazimi majelisnya para ulama besar Jakarta serta menggeluti kitab-kitab padat ilmu karya para ulama klasik dan kemudian ia bandingkan dengan kadar keilmuan yang ada di strata kesarjanaan selanjutnya, ia menjadi tidak tertarik untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah sejak lama ia tidak berminat pada atribut-atribut akademis dan gelar titel kesarjanaan yang menurutnya telah banyak dinodai oleh sementara orang yang menjadikan itu hanya sebagai aksesori penambah prestise atau bahkan menjadi komoditas pendukung untuk mencari keuntungan-keuntungan pribadi.

Pola pandangnya yang seperti ini membuatnya lebih menghargai khazanah ilmu yang beredar di majelis-majelis ilmu para ulama ketimbang menyisihkan waktu lagi untuk meraih gelar pascasarjana.
Ketokohan K.H. Saifuddin Amsir memang ketokohan yang berbasiskan keilmuan, bukan karena gelar yang disandangnya. Namanya semakin dikenal orang karena keluasan ilmunya yang diakui banyak pihak. Karakteknya yang low profile menjadi bukti bahwa popularitasnya saat ini tidak dibangun lewat sebuah proses karbitan yang direkayasa, tapi bentuk pengakuan publik yang mengapresiasi kedalaman ilmunya.

Betawi Corner
Di samping itu, ia juga merasa prihatin atas orientasi pemahaman keagamaan umat Islam zaman sekarang yang tak lagi menolehkan pandangan kepada khazanah ilmu peninggalan para ulamanya sendiri. Mereka kemudian lebih tertarik pada pembahasan-pembahasan Islam sekuler dan sebagainya, yang sebenarnya rapuh dasar keilmuannya.

Padahal dulu, para cendekiawan Prancis yang dikumpulkan oleh Napoleon Bonaparte untuk mempelajari kitab-kitab karya para ulama setelah ia merampasnya dari perpustakaan-perpustakaan muslimin saat itu, misalnya, sedemikian terkagum-kagum terhadap ilmu historiografi dalam tradisi keilmuan masyarakat muslim.
Saat menelaahnya, mereka terinspirasi dengan ilmu hadits dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang sangat memperhatikan sanad dan sedemikian ketat memperhatikan berbagai rujukan sebagai pertanda betapa masyarakat Islam sangat menghargai ilmu dan sejarahnya. Bukan cuma terinspirasi, bahkan mereka kemudian juga menjadikan karya-karya itu sebagai rujukan penting bagi mereka. Saat itu, dunia Barat merasa sangat berkepentingan untuk mempelajari khazanah ilmu kaum muslimin, yang di kemudian hari menjadi akar pencerahan bagi peradaban keilmuan mereka.

Dalam berbagai majelisnya, ia tak pernah bosan mengingatkan umat untuk memperhatikan masalah tersebut. Karena itu, dengan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari pihak Jakarta Islamic Centre, saat ini ia tengah merintis berdirinya suatu lembaga pengkajian yang memagari kemodernan cara berpikir dengan kemurnian ilmu agama yang jernih. Lembaga dengan karakteristik bernuansa Betawi itu ia namakan Betawi Corner.

Di samping sebagai tempat untuk mengkaji khazanah kebudayaan dan ilmu-ilmu keislaman dan meng-counter pemikiran-pemikiran dan pemahaman keagamaan yang destruktif, Betawi Corner juga dimaksudkannya sebagai tempat berdiskusi dan bermusyawarah bagi para ulama dan masyarakat Betawi.

Menjauhi Yang Syubhat
Di dalam keluarga, K.H. Saifuddin Amsir adalah sosok seorang ayah yang sederhana, demokratis, sabar, tapi tegas dalam hal mendidik anak. Ayah empat orang putri ini adalah seorang yang sangat mengutamakan keluarga dan sangat memperhatikan sisi pendidikan anak-anaknya. Ia menyadari, ilmu pengetahuan adalah warisan terbaik kepada anak-anaknya kelak.

Pendidikan dalam keluarganya dimulai dengan menerapkan aturan-aturan yang harus ditaati segenap anggota keluarga, dengan bersandar pada pola hidup yang diterapkan Rasullullah SAW. Pola hidup yang dimaksud adalah pola hidup sederhana dan menjauhi hal-hal yang syubhat.
Menurut Hj. Siti Mas’udah, istrinya, K.H. Saifuddin Amsir adalah ayah sekaligus guru dan sahabat bagi istri dan putri-putrinya. Ia senantiasa menekankan pentingnya agama dan ilmu kepada anak sejak mereka masih kecil. Shalat berjamaah adalah suatu keharusan dalam keluarga ini.

Dalam hal makanan, ia tidak memperkenankan anggota keluarganya mengonsumsi makanan-makanan yang belum terjamin kehalalannya, seperti makanan-makanan produk luar negeri. Sejak dari usia bayi, mereka juga sudah dijauhkan dari makanan-makanan yang belum terjamin kesehatannya, seperti makanan-makanan yang banyak menggunakan bahan pengawet, makanan siap saji, atau makanan yang menggunakan bahan-bahan penyedap.

Setali tiga uang, istrinya, yang akrab disapa Umi, juga tidak kurang perannya dalam membentuk citra kebersahajaan dan kemandirian dalam keluarga. Di samping menangani segala urusan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, bahkan menjahit, ia juga masih menyempatkan diri aktif pada bidang-bidang sosial keagamaan dan mengajar di sejumlah majelis ta’lim.
Dengan menerapkan pola pembinaan dan pendidikan keluarga yang demikian, ia telah berhasil menjadikan putri-putrinya sebagai insan-insan pecinta ilmu agama dan pengetahuan. Banyak sudah yang telah diraih keempat putrinya itu. Mengikuti jejak sang ayah, mereka selalu mendapatkan beasiswa dan menjadi lulusan terbaik di almamaternya. Bahkan si bungsu, Rabi’ah Al-Adawiyah, misalnya, sejak berusia 12 tahun sudah hafal tiga puluh juz Al-Quran dengan baik. IY

Sumber: http://majalah-alkisah.com




Minggu, Mei 10, 2009

Sekilas Biografi Sayyidah Zainab


Dikirim oleh:
M. Su'udi Musthofa
Mahasiswa Tingkat 3 Jurusan Filsafat Al-Azhar Cairo Egypt

Buku-buku sejarah baik yang ditulis oleh sejarawan Arab maupun oleh para orientalis sepakat bahwa Sayyidah Zainab adalah wanita pertama dalam Islam yang ikut berperan dalam panggung politik. Namanya selalu disebut bersamaan dengan tragedi Karbala, salah satu peperangan yang sangat mengerikan dalam sejarah Islam. Tidak ada seorangpun yang mengingkari posisi Sayyidah Zainab dalam tragedi tersebut. Bahkan ada yang menamakannya sebagai Pahlawan Karbala, karena ia adalah satu-satunya wanita yang melindungi para tawanan yang terdiri dari keluarga Bani Hasyim. Dalam posisi genting tersebut, ia siap mengorbankan jiwanya demi membela seorang anak kecil yang sedang menderita, Ali Zainal Abidin bin Husain. Dari peristiwa inilah ia disebut sebagai Ummu Hasyim. Bahkan sebagian sejarawan menambahkan bahwa sikap Sayyidah Zainab setelah peperangan itulah yang menjadikan Karbala sebagai tragedi yang terus dikenang.

Biografi Sayyidah Zainab sudah tidak asing lagi. Ayahnya adalah Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhu, dan kakek dari jalur ibunya adalah Muhammad, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Ibunya adalah Fatimah al-Batul radiallahu 'anha, dan nenek dari pihak ibunya adalah Khadijah bintu Khuwailid radiallahu 'anha, Ummul Mukminin pertama. Saudara kandungnya adalah al-Hasan dan Husain, cucu Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.

Sayyidah Zainab dilahirkan pada tahun enam hijriyah di Madinah Munawwarah dan kakeknya, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. menamakannya Zainab. Nama ini adalah untuk mengenang putir beliau yang wafat pada tahun kedua hijrah akibat luka yang dideritanya. Kala itu, tepatnya setelah perang Badar, beliau (Sayyidah Zainab-putri Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam) pergi ke Madinah. Ketika di perjalanan ia bertemu seorang musyrik, lalu orang musyrik tersebut menusuk perutnya yang sedang mengandung. Akibatnya beliau keguguran kemudian meninggal. Kejadian itu meninggalkan perasaan sedih di hati Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. hingga ketika Fathimah, putri beliau, melahirkan anaknya yang pertama, beliau menamakannya Zainab. Zainab tumbuh dalam asuhan kakeknya, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi menjelang umurnya genap lima tahun, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. dipanggil Allah SWT. Sepeninggal Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. hari-harinya diliputi kesedihan. Ibunya, Fathimah radiallahu 'anha, tercatat tidak pernah tersenyum setelah kejadian tersebut. Bahkan dalam catatan sejarah, Fathimah bintu Rasulillah sallallahu 'alaihi wasallam. terhitung sebagai salah seorang tokoh yang paling banyak menangis, yang semuanya terdiri dari enam tokoh. Keenam tokoh tersebut adalah Adam 'alaihis salam karena penyesalannya, Nuh 'alaihis salam karena kaumnya, Ya’kub 'alaihis salam karena anaknya Yusuf 'alaihis salam, Yahya 'alaihis salam karena takut dari api neraka dan Fathimah radiallahu 'anha karena kematian ayahnya. Kemudian setelah beberapa bulan, Fathimah radiallahu 'anha. menyusul ayahnya di pangkuan Ilahi. Ada yang mengatakan bahwa Fathimah radiallahu 'anha meninggal setelah enam bulan berlalu dari wafatnya Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Ada juga yang mengatakan tiga bulan dan ada juga lebih dari itu.

Demikianlah, perjalanan hidup Sayyidah Zainab dilalui dengan kesedihan karena kematian dua orang yang paling ia cintai. Dan pada waktu yang sama, ia harus bertanggung jawab atas saudara-saudaranya, Hasan, Husain dan Ummu Kultsum, sehingga ia pun berposisi sebagai ibu pengganti bagi mereka.

Suami Zainab adalah anak pamannya sendiri, Abdullah bin Ja’far. Sejarah menyebutkan bahwa ia adalah orang yang terhormat dan mempunyai kedudukan tinggi di kalangan orang-orang sezamannya, baik dari pihak Bani Hasyim maupun dari Bani Umayyah. Ia juga dikenal dengan sifat muru`ah, dermawan, akhlak terpuji dan watak yang baik. Hingga karena kedermawanannya ia dijulujki dengan Quthbus Sakhaa` (Pusat Kederwananan).

Banyak catatan sejarah yang menyebutkan tentang kehidupan Sayyidah Zainab, akan tetapi tidak ada satupun yang menyebutkan ciri-cirinya ketika menjadi istri Abdullah bin Jakfar. Hal ini tak lain karena ketika di rumah ia selalu berada di belakang tabir dan selalu menutup dirinya. Dan ketika ia keluar pada peristiwa Karbala, Abdullah bin Ayyub al-Anshari melihatnya dan menyebutkan, “Demi Allah saya tidak pernah melihat wajah yang serupa dengannya, ia bagaikan belahan bulan purnama”. Al-Jahidz dalam bukunya al-Bayaan wat Tabyiin mengatakan bahwa kelembutan Sayyidah Zainab mirip dengan ibunya, sedangkan ilmu dan ketakwaannya mirip dengan ayahnya. Ia juga mempunyai majlis taklim tersendiri yang dihadiri oleh para wanita yang ingin belajar agama. Hal ini menunjukkan bahwa julukan Aqiilah bani Hasyim sangat cocok untuknya.

Riwayat yang rajih menyebutkan bahwa dari perkawinannya dengan Abdullah bin Jakfar, Sayyidah Zainab mempunyai dua orang putra, yaitu Jakfar dan Ali, dan dua orang putri, yaitu Ummu Kultsum dan Ummu Abdillah.

Sayyidah Zainab terus mengikuti peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada zamannya dari balik tabir di dalam rumahnya. Ia mendengar ayahnya mengarungi berbagai medan pertempuran, seperti Perang Jamal, Perang Shifin, lalu dengan orang-orang Khawarij di Nahrawan. Selama lima tahun di bawah kekhilafahan Ali radiallahu 'anhu. Kondisi dunia Islam tidak pernah tenang, lalu pada tahun 40H beliau meninggal dunia. Kemudian pada tahun 49H, saudaranya, Hasan, menyusul ibunya dan dikuburkan di Baqi’.

Kemudian setelah wafatnya Hasan, datanglah giliran Husain. Maka Sayyidah Zainab pun bersiap-siap untuk menghantarkan saudaranya menuju kursi kekhalifahan setelah diduduki oleh Bani Umayyah secara turun temurun. Lalu ia pun turut pergi ke Iraq, sebagaimana dua puluh tahun sebelumnya ia pergi ke sana bersama ayahnya. Dan dalam perjalanan tersebutlah, tepatnya di tempat yang bernama Karbala, Husain, saudaranya menemui syahadah. Lalu Sayyidah Zainab pun digiring bersama tawanan lainnya ke rumah gubernur Kufah kala itu, Abdullah bin Ziyad. Setelah itu Ziyad menyuruh agar Ali bin Husain dibunuh, namun Sayyidah Zainab menghalanginya dan Ziyad mengurungkan niyatnya.

Selanjutnya mereka digiring kembali ke Damaskus untuk dihadapkan kepada Yazid bin Mu’awiyyah. Dikisahkan bahwa ketika melihat kepala Husain, Yazid menitikkan air mata karena menyesali terjadinya pembunuhan tersebut. Kemudian Yazid memerintahkan Zainab untuk kembali ke Madinah.

Setelah semua peristiwa yang ia lalui, Zainab ingin menghabiskan sisa hidupnya di sisi kakeknya, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi Bani Umayyah tidak menginginkan hal itu, karena keberadaannya di Madinah dapat membangkitkan kemarahan orang-orang Madinah dan mendorong mereka untuk menuntut balas. Maka gubernur Madinah memintanya untuk meninggalkan Madinah. Kemudian ia pergi ke Mesir dan sampai pada bulan Sya’ban tahun 61H sebagaimana disebutkan sebagian besar buku sejarah. Kedatangannya di Mesir pun disambut hangat oleh Maslamah bin Makhlad al-Anshari, gubernur Mesir kala itu dan oleh penduduk Mesir. Kemudian Maslamah menjamunya di rumahnya dan ia tinggal di sana sekitar satu tahun lalu meninggal pada tahun 62H.

Deskripsi Masjid Sayyidah Zainab

Masjid ini terletak di alun-alun Sayyidah Zainab (miidaan Sayyidah Zainab). Sebelumnya tempat ini dikenal dengan Qantharatus Subaa’ (Jembatan segi tujuh). Penamaan ini dinisbatkan kepada ukiran segi tujuh yang terletak di atas hulu teluk Nil. Segi tujuh ini merupakan lambang pangkat Zhahir Bebers, sang pembangun jembatan. Pada tahun 1315H/1898M bagian tengah dari teluk Nil tersebut ditutup dengan tanah dan dilakukan pelebaran terhadap alun-alun, sehingga jembatan Qantharatus Subaa’ pun dihancurkan. Ketika pelebaran alun-alun dilakukan, ditemukan bagian depan Masjid Sayyidah Zainab yang sebelumnya telah direnovasi oleh gubernur Utsmani, ‘Ali Pasya, yaitu pada tahun 951H/1547M. Kemudian masjid tersebut diperbaharui lagi oleh Gubernur Abdurrahman Katekhda pada tahun 1170H/1768M. Sejak ditemukan bagian depan masjid Sayyidah Zainab pada abad X1X, maka alun-alun dan bahkan seluruh daerah tersebut, dinamakan dengan Sayyidah Zainab.

Pada tahun 1940 M, Kementrian Wakaf Mesir membangun masjid Sayyidah Zainab sebagaimana yang ada saat ini. Masjid tersebut terdiri dari tujuh serambi depan yang sejajar dengan kiblat, yang di tengah-tengahnya terdapat ruangan persegi empat yang di naungi oleh kubbah. Dan di sisi kiri masjid tersebut terdapat makam Sayyidah Zainab.

Di bagian depan masjid sebelah utara, terdapat dua ruangan dengan dua pintu masuk utama, yang dipisahkan oleh ruangan berbentuk persegi panjang (Syekhsyekhah). Di sisi Barat Laut masjid terdapat maka Sayyid al-‘Atris.

Kemudian Kementrian Wakaf Mesir melakukan pelebaran masjid dengan menambahkan 17 x 32 dari ukuran masjid yang asli. Pada tahun 1969M Kementrian Wakaf kembali melakukan pelebaran dengan menambahkan ruangan yang sama dengan ukuran masjid asli. Dengan demikian tambahan pertama memisahkan antara masjid yang asli dengan tambahan terakhir. Di tengah-tengah ruangan tambahan pertama ini dibuat mihrab dengan tetap menjaga mihrab yang lama. Dan di tengah-tengah ruangan tambahan kedua, terdapat ruangan tengah yang juga di naungi oleh qubbah yang berhadapan dengan makam Sayyidah Zainab. Di sisi depan bagian barat terdapat dua pintu masuk, salah satunya berada di tengah renovasi pertama dan yang kedua di tengah renovasi kedua.

Rabu, April 29, 2009

MENGAPA DPT AMBURADUL?

SABUR, SHI, MH
Koordinator Lembaga Advokasi Hukum Malang
Sekretaris PAC ANSOR Gondanglegi Malang

Hampir semua masyarakat, terutama pimpinan dan Caleg dari partai politik, mengeluarkan pertanyaan tersebut.

Amburadulnya DPT telah menimbulkan banyak spekulasi, mulai adanya intervensi dari penguasa sampai kinerja KPU beserta jajarannya, dianggap kurang maksimal dan bahkan KPU belum siap dalam penyelenggaraan Pemilu. Penilaian seperti mungkin sah-sah saja mengingat amburadulnya DPT tidak hanya terdapat banyaknya hak masyarakat yang terkorban melainkan nama-nama ganda yang terdapat di DPT merupakan salah satu indikasi bahwa kinerja KPU beserta jajaranya kurang professional dalam melaksanakan amanat UU tentang Pemilu.

KPU Gagal?
Untuk memberikan penilaian terkait kinerja KPU dapat dikatakan subyektif dan dapat pula dikatakan subyektif. Semua itu tergantung tolak ukur yang dijadikan dasar penilaian. Akan tetapi, kegagalan KPU dalam melaksanakan amanat UU terkait ke semrawutan data pemilih tidak lepas dari tiadanya sinkronisasi perangkat pengawas yang di bentuk oleh BAWASLU. Disamping dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 34 ayat (1) KPU Kab/Kota malakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, namun di dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 80 huruf a angka (1) bahwab tugas Panwas Kecamatan adalah mengawasi ”Pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap. Rialitasnya, dengan keterbatasan SDM yang dimiliki di struktur KPU tentunya, peran Panwas Kecamatan melalui jajarannya dapat meminimalkan kesemerautan DPT. Akan tetapi Panwas yang diharapkan dapat mengimbangi keterbatasan SDM di jajaran KPU, akhirnya pelaksanaan pemuakhiran daftar pemilih kurang terkontrol sehingga kelalaian pengawasan yang seharusnya dilakukan KPU melalui jajarannya hampir tidak ada.

Untuk itu, kesemerautan ini merupakan lingkaran jin yang meliputi pemerintah, KPU dan Panwaslu itu sendiri sehingga bila KPU dikatakan gagal dan melanggar UU dalam penyusunan DPT yang baik, maka pemerintah dan Panwaslu juga dapat dikatan gagal dan melanggar UU. Jadi tidak adil bila ke amburadulan DPT semata-mata kesalahan KPU sementara perangkat yang lain (Panwaslu dan pemerintah) hanya bisa menyalahkan namun disatu sisi justru mereka tidak maksimal melaksanakan tugas yang telah di amanatkan UU. Untuk itu, penilaian gagal dan tidaknya kinerja KPU harus dilihat secara konprehensif melalui mekanisme UU yang berlaku, bukan penilaian parsial yang hanya akan menambah permasalahan semakin runyam.

KPU dan Panwas Harus Tegas.
Untuk mengantisipasi terulangnya kegagalan dalam penyusunan DPT, KPU harus selektif merekrut pelaksana tehnis, seperti PPK, PPS dan KPPS dengan pengawasan yang cermat. Setidaknya bisa dijadikan tolak ukur bahwa kesemerautan DPT menunjukkan bahwa kinerja PPK beserta jajarannya telah gagal, sehingga perlu adanya evaluasi terhadap PPK mana yang perlu di evaluasi kinerjanya serta keanggotaannya. PPK yang telah dilaporkan Panwaslu telah berbuat curang dengan mengelambungkan suara atau melakukan jual beli suara selayaknya dipecat atau di non aktifkan dari keanggotaan PPK karena sudah melanggar sumpah jabatan untuk berbuat sesuai dengan yang diamanatkan UU. Karaena penyelenggara demokrasi ini setidaknya harus di huni oleh orang-orang yang mempunyai integritas moral yang kuat, sehingga pesta demokrasi ini dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang ada. Akan tetapi sangat di sayangkan, Ketua KPU Kabupaten Malang Ir. Nachrowi, M. Si seakan cuek melihat rialitas ini, dia lebih mengedepakan target daripada substansi hasil Pemilu. Dalam hal ini sepertinya KPU menutup mata dan telinga dengan arogansinya, terkadang, mengabaikan temuan-temuan Panwas. Bila arogansi yang dikedepankan, maka pesta demokrasi benar-benar akan tercidrai sebagaimana di suarakan oleh para tokoh dan pengamat politik selama ini.
Artinya, sifat arogansi tersebut sebenarnya bisa dikatakan musibah moral yang seharunya tidak perlu terjadi. Berangkat dari musibah moral inilah akan berimbas terhadap pola fikir serta mental kerja di jajaran KPU. Yang terlintas akhirnya adalah uang yang didahulukan dengan memanfaatkan jabatan untuk digunakan sebagai sarana meraup keuntungan. Sangat ironis sekali! Ditengah kesadaran politik dan hukum masyarakat yang masih labil dan orientasi politiknya masih primitif, setidaknya KPU bersama Panwas memberikan pembelajaran bagaimana berdemokrasi yang baik dan bersih tanpa harus meninggalkan nilai-nilai norma hukum yang ada.

Jadi kedua lembaga tersebut harus benar-benar menjalankan perannya masing-masing sesuai dengan mekanisme yang ada. KPU harus terbuka pada Panwas, dan Panwas setidaknya proaktif dan bertindak tegas ketika menerima laporan dari masyarakat terkait kecurangan penyelenggara Pemilu. Karena kedua lembaga tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, diantaranya tidak bisa mengklaim yang paling mengerti apalagi saling menyalahkan. Sementara ini yang terjadi adalah justru mereka lebih memperagakan arogansi sebagai pihak yang paling benar dan paling berkuasa. Ini suatu hal mamberikan image bahwa mereka sebenarnya masih belum layak untuk mengemban tugas sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilu.

Harapan Kedepan
Sebagai kata akhir dari tulisan ini adalah adanya harapan penulis agar penyelenggara harus benar-benar orang-orang yang mempunyai integritas moral yang tinggi, berpendidikan yang memadai, punya komitmen dan loyalitas yang tidak diragukan. Tentunya harapan ini juga harus dimulai dari para orang-orang yang akan dijadikan panitia rekrutmen agar hasil pesta demokrasi ini nantinya tidak terkotori oleh oknum-oknum yang sengaja hanya ingin mencari keuntungan sesaat.

KPU dan Panwas merupakan satu paket dalam pesta demokrasi ini, harapan untuk saling berkejasama sangat di perlukan agar dapat bersinergi dalam menyukseskan Pemilu tanpa harus ada saling menyalahkan atau merasa yang paling benar.

Rabu, April 22, 2009

PARADIGMA KAWIN BEDA AGAMA:

“Sebuah Analisis atas Yurisprudensi No.1400/k/Pdt/1986”
SABUR, SHI, MH

Koordinator  Lembaga Advokasi Hukum Malang

Sekretaris PAC ANSOR Gondanglegi Malang 

PROLOG

            Seiring dengan berkembangan zaman telah membawa imbas terhadap pola fikir ummat manusia. Terpengaruhnya pola fikir manusia tidak hanya terletak pada tatanan sosial- budaya dan politik, selebihnya imbas telah lama merasuki terhadap aspek-aspek yang bersifat vitalistik; yaitu paradigma kawin beda agama. Perubahan dan pergeseran paradigma tentang konsep hukum kawin beda agama setidaknya telah mengarah guna merancuhkan sebagian konsep-konsep agama itu sendiri. Entah mengapa hal ini harus terjadi! Namun setidaknya opni konsep hak asasi manusia liberalis yang kini paling aktual telah membuat pola fikir  “sebagian”  ummat manusia teraborsi. Pola fikir manusia yang cenderung konsumtif dapat membawa implikasi terhadap pola nalar ummat manusia secara pragmatis dan adaptis. Pola fikir pragmatis lebih terbawa oleh arus apa yang telah menjadi realitas. Sementara pola fikir adaptis lebih menampakkan ketidak berdayaan terhadap pola pikir yang diterimanya. Jadi bukan suatu yang berlebihan bila seorang ulama klasik membagi jenis manusia menjadi dua; hayawan dan hayawan natik.

            Keterlibatan manusia dalam merekonstruksi konsep agama yang cenderung sepihak suatu indikasi bahwa genersi Islam telah mengalami degradasi dan eksklusif terhadap konsep yang seharusnya dikritisi terlebih dahulu yang mempunyai korelasi dan relevansi dengan  ajaran agama.

Kawin adalah bagian HAM sekaligus merupakan kebutuhan bagi ummat manusia. Sebagai salah satu cara untuk meneruskan perjuangan dan pembangunan sebuah agama dan bangsa, maka kawin dalam Islam dianjurkan dan disunnahkan. Akan tetapi nilai luhur dari  sebuah anjuran itu, kini konsep dan paradigmanya telah mengalami pergeseran nilai dan penafsiran dari  konsep awal yang  telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

            Melihat realitas ini, kebanyakan generasi Islam  hanya bisa mendiamkan tanpa bisa melakukan sesuatu dalam kerangka merekonstruksi kembali kapada habitatnya. Seperti yang terjadi dalam negara ini bahwa kawin beda agama ternyata telah lama dilegalkan dengan yurisprudensi. Tetapi apakah  masyarakat sudah mengetahui masalah itu? Dan dimanakah para serjana Islam? Secara akademis tentu belum!! Jangankan masyarakat awam, kalangan akademis mungkin yang banyak mengerti baru orang-orang yang mati hidup bergelut dengan  masalah hukum: seperti hakim, advokat dan para  serjana hukum/ serjana hukum Islam. Sebenarnya secara tidak sadar konsepsi hukum perkawinan di Indonesia telah terkena virus yang merusak  sendi-sendi keagamaan dimasyarakat karena hal itu dapat mengaburkan konsepsi semua agama yang melarang adanya kawin antar agama.

            Berangkat dari uaraian ini, denga keprihatinan, penulis mencoba merekonstruksi paradigma kawin antar agama baik dalam perspekrif agama maupun hukum tentang perkawinan dan Hak asaisi Manusia.

PEMAHAMAN HUKUM YANG BIASA

            Sepengetahuan penulis kecenderungan untuk melakukan kawin antar agama didasarkan atas nama “cinta” bukan ajaran  agama yang seharusnya menjadi barometer. Terlepas dari itu, kini semua ajaran agama, khususnya yang berkenaan dengan masalah perkawinan, mengalami tantangan dalam mengupayakan mereduksi konsepsi agama secara utuh, dimana pada akhir-akhir ini pola fikir masyarakat lebih cenderung positivistik. Tantangan tidak hanya sekedar bagaimana kita dapat mempertahankan tatanan hukum. Selebihnya, tugas terpenting, bagaimana kita dapat mengupayakan merekonstruksi pola fikir masyarakat guna mengarahkan serta menumbuhkan rasa keimanan terhadap konsep-konsep agama tersebut.

            Ditengah kecenderungan pola fikir masyarakat secara positivistik akan berdampak terjadinya kekurang harmunisan antara masyarakat dengan ajaran agama. Hal ini akan mudah terjadi, terlebih terindikasi impotensi yang melanda semangat para orang tua untuk mengembangkan pola agamis dalam kerangka membentuk sebuah karakter anak religius. Impotensi dalam hal ini terwujud bagaimana para orang tua yang telah banyak menafikan ilmu agama sebagai salah-satu penunjang dalam membangun kemapanan beragama secara fundamintal. Untuk itu, ditengah kecenderungan ini, maka diperlukan merekonstruksi keputusan Mahkama Agung tanggal 20-1-1989 No 1400/k/pdt/1986. Yang  mana dalam hal ini, MA dalam putusannya memperbolehkan dan terkesan memaksakan perkawinan antar agama yang dimohonkan oleh Andy Vonny Gani. P yang hendak dilakukan seorang lelaki bernama Andrianus Petrus Hendrik Nelwan.

            Putusan yang kini telah menjadi Yurisprudensi ini memang belum terserap oleh masyarakat pedesaan. Tetapi tidak menutup kemungkinan dalam beberapa tahun kemudian akan menjadi virus bagi eksistensi agama, terlebih diera dimana semakin canggihnya teknologi yang diiringi dengan keterbukaan terhadap segala informasi, serta belum adanya dimensi jenis-jenis penanganan yang diatur dalam UU. Potret ini sangat memperhatikan dimana kecenderungan masyarakat apektasi dan konsumtif dalam menerima dan melihat realitas.

 Sebagai langkah dalam merekonstruksi putusan MA yang telah menjadi yurisperudensi perlu pemahaman suatu UU yang mempunyai korelasi dengannya; yaitu UU No. 1 tahun 1974. Bila disimak mengenai kronologis adanya putusan MA yang melegalkan kawin antar agama disebabkan asumsi ”penafsiran” yang  mengatakan telah terjadinya kekosongan hukum yang mana hal itu tidak perlu terjadi. Untuk lebih jelas dapat disimak salah-satu IKHTISAR hukumnya:

- Bahwa UUP No.1 tahun 1974 tidak memuat ketentuan yang melarang perkawinan bagi mereka yang berbeda agama. Bahwa pasal 27 UUD 45 menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum, tercakup didalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin sesama warga negara walaupun berlainan agama , asas mana sejalan dengan pasal 29 UUD 45 bahwa negara menjamin kemerdekaan bagi setiap warga negara memeluk agamanya masing-masing.

- Bahwa dengan demikian terdapat kekosongan hukum, dan dalam kenyataan yang hidup di Indonesia, tidak sedikit perkawinan atau niat melaksanakan perkawinan berbeda agama, maka tidak dapat di benarkan karena kekosongan  hukum kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut dibiarkan tanpa pemecahan hukum, oleh karenanya harus ditemukan hukumnya.

 

            Mencermati salah satu ikhtisar hukum Mahkamah Agung diatas memang agak terkesan prematur dan sukyektif. Sukyektifitas dalam bunyi ikhtisar ini dapat dilihat bagai mana mungkin  bisa diasumsikan telah terdapat kekosongan hukum! Kendati tidak disebutkan secara tegas mengenai larangaan kawin antar agama, namun ketentuan UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) perkawinan adalah sah, apabia diakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, tentunya dapat dijadikan pertimbangan secara obyektif. Karena menurut penulis, intisari dari UU No. 1 tahun 1974 itu adalah pasal 2 ayat (1). Sementara dalam putusannya, MA kurang melibatkan ketentuan pasal tersebut secara obyektif. Kemudian masih dalam UU yang sama disebutkan pula dalam pasal 22 bahwa : perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Kata  “dapat” yang  terdapat dalam pasal 22 bukan berarti kawin beda agama lantas di perbolehkan. Karena dalam penjelasannya diartikan bisa batal atau tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing menentukan lain. Kalau demikian dimana relevansinya dengan kawin antar agama? Sangat jelas perkawinan antar agama tidak disahkan karna tidak memenuhi syarat sahnya perkawinan seagama. Untuk itu, apabila keterangan pasal 22 dikaitkan dengan kawin beda agama bukan lagi memakai “dapat”  batal, melainkan batal demi hukum.

            Oleh karena itu, Syaikh Dr, Yusuf  Qardhawi mengatakan : ketahuilah, sungguh mustahil jika seorang muslimah tetap memiliki kehormatan aqidah dan perlindungan agamanya, jika laki-laki yang menguasainya adalah seorang yang menentang agamanya dengan segala bentuk penentangan. sementara ketentuan UUD 45 pasal 29 ayat (2) hanya sebatas memberi kebebasan melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaannya. Pasal 29 ayat  (2) ini tentu tidak dapat dipisahkan dengan  keberadan bunyi pasal 22 mengenai “ibadah” yang mana kawin itu sendiri dalam konsepsi Islam merupakan salah- satu salah satu ibadah. Tiadanya spesfikasi penyebutan mengenai kawin antar agama dalam pasal  29 ayat (2) yang  telah dijadikan salah  satu ikhtisar hukum oleh Mahkamah Agung menunjukkan bahwa adanya keterputusan dalam mengiterpretasikan antara pasal 22 dan pasal 29 ayat (2) UUD 45 tersebut sehingga dapat dikatakan kurang tepat dan bahkan ada unsur kesenjangan  untuk pemaksaan legalisasi kawin antar agama. Indikasi ini tertangkap saat pasal-pasal dari UU yang dijadikan barometer kurang mengena terhadap objek atau subtansi perkara.

            Dengan demikian, secara teori Mahkamah Agung sepantasnya tidak boleh mengeluarkan produk hukum senadiri, mengingat hasil produk hukum yang dikeluarkan sebelumnya sudah ada dan jelas diatur oleh UU No. 1 tahun 1974 . Mahkamah Agung hanya boleh membuat atau mengeluarkan produk hukum sendiri bila suatu masalah dalam masyarakat belum terdapat aturan dalam UU. Kalau memang terjadi kekosongan hukum, maka sebagai lembaga tertinggi, MA memang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan suatu masalah dengan membuat prodak hukum sendiri, yaitu yurisprudensi. Ketentuan ini disebutkan dalam penjelasan umum UU No. 14 / 1985 tentang MA angka 2 huruf (c) Membuat peraturan sebagi pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Begitu juga dalam penjelasan pasal 14 ayat (1) UU No. 14 / 1970 tentang ketentuan pokok-pokok kekuasaan kehakiman disebutkan: hakim sebagi organ pengadilan dianggap memahami hukum.  Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andai kata ia tidak menemuklan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh terhadap Tuhan yang maha esa, diri sendiri, masyarakat bangsa dan negara. Bebeda dengan sistem hukum di AS yang menganut asas Anglo Saxon dimana pertimbangan hukumnya tidak terborgol oleh eksistensi hukum tertulis melainkan lebih cenderung melihat terhadap realitas hidup di masyarakat, artinya putusan seorang hakim dalam memutuskan perkara berorientasi terhadap rasa keadilan yang berkembang dimasyarakat.

            Terlepas dari itu, legalisasi kawin beda agama tidak dapat dibenarkan oleh agama; pertama, kawin antar agama bertentangan dengan norma-norma hukum agama sebagaimana kesaksian Prof. Dr. Hazairin, SH; kedua, kawin antar agama bertentangan dengan eksistensi dan substnsi UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1); ketiga, bertentangan dengan roh UUD 45 pasal 29 ayat (2) sebab dengan dikeluarkannya Yurisprudensi tersebut secara tidak langsung MA telah mengintervensi ketentuan ajaran semua agama di Indonesia sebagai mana dijelaskan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH, dalam kesaksiannya bahwa: bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri… Demikian juga bagi orang kristen dan bagi orang Hindu Budha seperti dijumpai di Indonesia. Menurut hukum Islam adalah tidak sah perkawinan berlainan agama (surat al-baqarah, ayat. 221). Menurut agama kristen dengan tegas nasehat-nasehat al-kitab perjanjian baru (2 kortinus 6:14).

            Dengan penjelasan Prof. Dr. Hazairin, SH, ini, penafsiran pasal 66 UU No.1 tahun 1974 yang dijadikan salah satu barometer bahwa diberlakukannya pasal yang terdapat dalam Ordonasi Perkawinan Indonesia kristen ( HOCI ) akibat kurang jelasnya UU No. 1 tahun 1974 mengenai kawin antar agama adalah sebuah penafsiran bias, bahkan putusan MA tersebut terlalu jauh sehingga keluar atau melanggar ketentuan UU yang telah ditentukan. Akan tetapi, akibat telah belasan tahun sudah semenjak dikeluarkannya yurisprudensi tentang legalisasi kawin beda agama, maka hal itu akan menimbulkan fenomena baru bila yurisprudensi itu dicabut oleh MA. Mengingat dengan masa yang cukup lama, tentu tidak sedikit, khsusnya masyarakat perkotaan, yang telah melakukan kawin antar agama. Fenomena ini akan menimbulkan buah simalakama, sebab disatu sisi tentu masyarakat dan  para ulama yang punya komitmen terhadap ajaran agama tidak ingin ini terjadi kepada sesama saudara semuslim, disisi yang lain kita juga tidak ingin menimbulkan masalah hukum baru sehingga berdampak terhadap status hukum mereka yang telah bertahun-tahun menjalani kawin antar agama. Namun timbulnya problematika ini sama-sama membawa konsekuensi hukum; yaitu antara hukum positif dilain pihak. Dengan demikian, guna merekonstruksi paradigma kawin antar agama, penulis berpendapat agar dikembalikan pada asas manfaat dan modhorot yang mempunyai implikasi terhadap legalitas secara fundamintal yaitu mencabut yurisprudensi No. 1400/k/Pdt/1986. Sementara bagi yang telah terlanjur melakukan kawin antar agama tetap diupayakan mendapat jaminan hukum secara admenistratif dengan putusan penggantinya. Secara teori memang hal itu masih memungkinkan diatur pada bab tentang ketentuan peralihan. Pun demikian, tetapi perlu kita sadari bahwa teori tidak selalu memborgol terhadap apa yang akan dijadikan hukum melainkan eksistensi dari sebuah teori ilmu hukum adalah bagaimana menciptakan dan memecahkan fenomina dimasyarakat dengan tidak harus melanggar ketentuan hukum masing-masing agama yang akan meresahkan pemeluknya. Dengan demikian tidak tutup kemungkinan bila ini dilakukan sebagai salah satu alternatif solusi agar tidak terlalu memakan korban dan menjadikan fenomina ini semakin kusut.

            Menurut sebagian kalangan, Islam memang tidak secara mutlak melarang kawin antar agama. Kelonggaran ini tidak lain karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa terhadap istrinya dan bertanggung jawab tentang dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi istri yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan melindungi hak-hak dan kehormatannya denagn syari’at dan bimbingan-bimbingannya. Akan tetapi agama lain, seperti nasrani dan yahudi misalnya, tidak pernah memberikan jaminan kepada istri yang berlainan agama, tidak menjamin kebebasan aqidah dan hak-haknya. Bagaimana mungkin Islam harus mengorbankan masa depan anak-anak gadisnya dan menyerahkan mereka ketangan orang-orang yang tidak mengindahkan perjanjian dan perlindungan terhadap agama mereka? memang terdapat fenomina baru terkait dengan enskalasi (pemantapan) ajaran agama diera global untuk dijadikan sebuah konsepsi ber sosio-budaya kurang menyengat. Untuk itu seharusnya hal-hal yang dipandang perlu agar dimasukkan dalam hukum positif sebagai wujud untuk menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat akan  ajaran agamanya. Bila kita melihat realitas hidup ini, memang  masyarakat lebih cenderung takut kepada sejenis UU dari pada ketentuan agamanya. Keterlibatan logika ini perlu diluruskan baik dengan dakwah maupun hukum yang mempunyai daya ekskusi (memaksa). Contoh: sebelum diundangkan UU pemberantasan korupsi, hukum Islam paling terdepan melarangnya. Tetpi apa yang terjadi? Begitu juga fenomina kawin antar agama. Terlebih sejarah membuktikan bahwa sekarang sudah tidak ada yang layak disebut sebagai ahli kitab!! Andaikan putusan MA No.1400/k/Pdt/1986 tidak pernah terjadi mungkin fenomina ini tidak akan sekusut sekarang.

 

BAGAIMANA RELEVANSINYA DENGAN HAM?  

            Secara konseptual, perjodohan atau perkawinan seorang memang erat hubungannya dengan HAM. Karena perkawinan itu sendiri berkaitan dengan “kebebasan hati nurani” (pasal 4 No. 39/1999 tentang HAM), diantaranya mencintai dan dicintai, memilih jodoh dan melakukan atau membentuk sebuah rumah tangga dengannya. Akan tetapi, sebagai negara hukum, tentu kebebasan dan HAM apapun tidak dapat diimplementasikan begitu saja, apalagi mengobrak-abrik norma-norma hukum agama yang dengan jelas telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits. Sebab perkawinan tidak hanya sekedar berkaitan dengan HAM, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang  sakinah, mawaddah, dan rahmah. Islam tidak hanya sekedar menganggap perkawinan sebatas hubungan perdata saja, melainkan implikasi dari perkawinan tersebut masih tersisakan pertanggung jawaban dihadapan Allah. Pertanggung jawaban ini tidak hanya sekedar hak melainkan kewajiban bagi semua umat manusia. Oleh karenanya konsepsi HAM jangan sampai diartikan setengah- setengah, konsepsi HAM harus disinergikan dan diintegrasikan dengan konsepsi hukum Islam agar terdapat keseimbangan secara obyektif dalam menilai norma-norma yang ada dimasyarakat.

            Dengan demikian, pencegahan kawin antar agama dalam Islam tidak dapat diasumsikan sebagai pelanggaran terhadap HAM, karena dalam UU No.39/1999 tentang HAM pasal 10 ayat (1) menyebutkan: Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan  keturunan melalui perkawinan yang sah. Yang dimaksud tdengan “perkawinan yang sah” adalah  perkawinan yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sementara ketentuan UU No.1/1974 pasal 2 ayat (2) mensyaratkan bahwa: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut  hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini bersifat obyektif dan inperatif. Ketentuan agar menghargai eksistensi hukum masing-masing agama juga terdapat dalam Konvenan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh sebab itu, alasan apapun sangat disayangkan dengan dikeluarkannya Yurisprudensi No. 1400/k/Pdt/1986 yang menjadi ikon sahnya perkawinan antar agama tanpa memperhatikan norma-norma agama yang ada. Karena dengan demikan MA telah memberlakukan pasal 26 KUH Perdata yang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja dan syarat-syarat serta peraturan agama dikasampingkan.  Padahal pasal ini telah recall semenjak diberlakukannya UU No. 1/1974!! Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi, kendati membentuk sebuah rumah tangga merupakan hak semua manusia, akan tetapi tidak semuanya hak itu dapat diimplementasikan dan kemudian diakomudir dalam Yurisprudensi. Sebab dalam UU 45 mengenai hal untuk merealisasikan suatu hak digariskan dalam pasal 28 ayat (2) bahwa: dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak-hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntunan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Kewajban dalam pasal ini terdapat agar memprhatikan norma-norma agama menunjukkan bahwa keberadaan yurisprudensi tersebut semakin jelas ketidak tepatan dan bertentangan dengan ketentuan UUD 45 sebagai hirarki hukum tertinggi, dimana kita mengenal asas lex superior derogat lex inferior (hukum yang lebih tinggi derajatnya, membatalkan hukum yang lebih rendah derajatnya). Sementara pasal 29 ayat (2) UUD 45 hanya menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk  agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepecayaannya itu. Kata “menurut agamanya masing-masing” sudah memberi gambaran bahwa yang dimaksud ajaran agamanya masing-masing yang terdapat didalamnya ialah ketentuan agama itu sendiri, begitu juga dalam beribadah. Jadi tidak logis bila MA mengasumsikan telah terjadi kekosongan hukum tentang kawin antar agama. Bukankah  perkawinan dalam Islam merupakan salah satu ibadah yang disebutkan UUD 45 pasal 29 ayat (2)!! Dengan demikian MA telah menabrak dan mengitevensi ketentuan kebebsan menjalankan ibadah masing-masing agama yang telah dilindungi UUD 45 yang mana hal ini dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM.

            Konsepsi HAM yang  didomonasi kalangan intlektual barat memang  tidak semuanya salah dan benar. Tetapi dilain pihak mereka telah mendistoris sejarah, padahal sebelum diadakannya: Declaration of Human Right, Islam telah menjadi pelopor terderpan dalam memperjuangkan HAM. Namun bedanya, HAM dalam persefektif Islam tidak hanya berkaityan dengan masalah keperdataan saja, selebihnya Islam juga terdapat hak-hak untuk tidak menabrak norma-norma agama; diantaranya tentang sahnya perkawinan antar agama. Namun hal ini seakan telah  pudar akibat terkontaminasinya sebagian ummat Islam yang sengaja digiring terhadap kebutaan akan kewajiban dan tanggung jawab mereka guna mengikuti garis-garis ajaran agama. Untuk itu, masyarakat Islam dituntut agar inovatif menggali konsepsi HAM yang seirama dengan konsepsi Al-Qur’an dan Hadits, baik yang berkaitan dengan masalah sosio-budaya maupun hukum. Ini suatu tuntutan dan tanggung jawab bagi intelektual muslim dalam mengupayakan penyadaran ummat Islam atas konsepsi HAM yang telah disodorkan orang-orang kapitalis, agar mau membudayakan pola fikir kritis-obyektif terhadap hal-hal yang telah menjadi rialitas. Yang menjadi fenomina sekarang adalah tidak sedikit masyarakat Islam yang  bisanya hanya mengamini apa yang datang dari barat, terutama pola budaya berpakaian.

 PENUTUP

            Menurut analisa hukum penulis, eksistensi putusan Mahkamah Agung No. 1400/k/Pdt/1986 yang mempresentasikan sebagai akibat terjadinya kekosongan hukum tidak tepat. Dengan demikian keberadaannya perlu dipertanyakan legalitasnya, mengingat secara teori tidak mungkin hanya sekedar putusan dapat mengalahkan atau mengenyampingkan substansi ketentuan pasal-pasal UUD 45 maupun UU No. 1/1974. Terlebih perkawinan dalam persepektif Islam merupakan salah satu yang mempunyai nilai ibadah yang mana hal ini pula telah dilindungi oleh UUD 45 untuk dapat dilaksanakan secara bebas tanpa ada campur tangan dari siapapun termasuk putusan MA. Sementara eksistensi putusan MA penulis anggap telah mengintervensi dan memprkosa ajaran Islam. Sebagai  pertanggung jawaban yuridis, tentunya MA mau mencabut putusan tersebut karena cacat secara hukum akibat bertentangan dengan ketentuan UUD 45 pasal 29 ayat (2).