Rabu, April 22, 2009

Affrimatif Action: KPU Jangan Memaksakan Diri

Oleh:

SABUR, SHI, MH

Pada Tanggal 23 Januari 2009, penulis sempat mendapat SMS dari salah satu Calon Legislatif Perempuan Kabupaten Malang yang mengapresiasikan pernyataan salah satu anggota KPU yang akan menerapkan Zipper system atau affrimatif action. Gagasan ini tentunya membawa angin segar bagi caleg perenpuan untuk bisa duduk manis sebagai anggota dewan. Karena affrimatif action menerapkan system yang cukup mengistimewakan para caleg perempuan yang diasumsikan akan kalah dalam gerakan dengan memberikan jatuh satu kursi dengan mengenyampingkan urutan suara terbanyak urutan ketiga yang dimiliki oleh caleg laki-laki. Hal ini seperti yang katakan oleh Andi Nurpati, salah satu anggota KPU,  sebagai proteksi dini terhadap adanya keterwakilan perempuan diparlemen (Jawa Pos, 23/01/2009).

Dasar Hukumnya Lemah

Penerapan zipper system atau affrimatif actiont sebenarnya akan menambah permasalahan baru. System tersebut lebih cenderung lebih tepat diterapkan jika pasal 214 tidak dibatalkan oleh MK. Dengan keluarnya putusan MK dengan menetapkan suara terbanyak, maka Pasal 55 sebagai sandaran hukum KPU akan sangat lemah terlebih substansi dari kandungan pasal tersebut bukan terkait pengaturan kursi melainkan hanya sebatas pemberian forsi 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan. Jadi pasal tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan dengan affrimatif actiont yang diasumsikan KPU.  Kalau kita cermati, keberadaan Pasal 55 ayat 2 sebenarnya kaitannya lebih kepada adanya ketentuan Pasal 214 yang mengatur tentang nomor urut. Akan tetapi setelah dibatalkan oleh MK, Pasal 55 ayat 2 sudah kehabisan tenaga untuk dijadikan sandaran hukum terhadap penerapan affrimatif action. Karen bila dilihat dari putusan MK, yang menjadi dasar putusannya adalah keadilan substantif bukan sekedar keadilan politik atau normatif belaka.

Dengan demikian, sangat kurang tepat apabila ada perlakuan khusus pada Caleg tertentu karena faktor jenis kelamin. Terlebih politik merupakan lebih cenderung penerapan kedaulatan rakyat secara utuh sehing diharapkan dapat para anggota dewan nantinya benar-benar hasil aspirasi rakyat yang bertumpu pada penilaian kinerja serta komitmen mereka untuk memperjuankan kepentingan rakyat itu sendiri.

KPU Bukan Legislatif

Disamping dasar hukumnya lemah, KPU bukan badan legislatif atau lembaga hukum yang dapat membuat norma hukum dengan sendirinya. KPU tidak lebih dari sebuah lembaga negara yang bertugas melaksanakan apa yang telah diamanatkan UU dan peraturah perundang-undangan yang ada. Selebihnya dari itu, KPU hanya bisa menjalankan dengan melalui Peraturan KPU yang jenis lainnya. Ini memang tugas KPU untuk mengeluarkan JUKNIS sehingga ketentuna UU dapat berjalan secara terarah. Berbeda dengan menafsirkan Pasal 55 ayat 2 sebagai dasar diberlakukannya affrimatif action. Dalam persepektif ilmu hukum, hak dan tugas penafsirkan UU agar bisa jadi norma hukum hanya lemabaga Pengadilan Negara.

Dengan itu, tentunya KPU jangan terlalu memaksakan diri agar permasalahan hukum dikemudian hari tidak menjadi sebuah problem yang dapat mencederai Pemilu yang mengusung aspirasi rakyat. Jadi, permasalahan Pemilu bukan sekedar bagaimana dapat memaksakan adanya keterwakilan akan tetapi Pemilu merupakan salah satu sarana bagaimana mewujudkan dan menghargai suara rakyat sebagai sendi dari penghelatan demokrasi. Karena demokrasi bukan sekedar persoalan politik, melainkan persoalan hukum yang harus dihormati oleh semua komponen masyarakat termasuk oleh KPU.

Semoga demokrasi ini dapat berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita yang diamanatkan UU.

  

Sabur Roxi Subianto, SHI, MH

Koordinator Lembaga Advokasi Hukum Malang (LADHUMA) Wilayah Kabuapten Malang dan Sekretaris PAC ANSOR Gondanglegi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar