Minggu, Mei 10, 2009

Sekilas Biografi Sayyidah Zainab


Dikirim oleh:
M. Su'udi Musthofa
Mahasiswa Tingkat 3 Jurusan Filsafat Al-Azhar Cairo Egypt

Buku-buku sejarah baik yang ditulis oleh sejarawan Arab maupun oleh para orientalis sepakat bahwa Sayyidah Zainab adalah wanita pertama dalam Islam yang ikut berperan dalam panggung politik. Namanya selalu disebut bersamaan dengan tragedi Karbala, salah satu peperangan yang sangat mengerikan dalam sejarah Islam. Tidak ada seorangpun yang mengingkari posisi Sayyidah Zainab dalam tragedi tersebut. Bahkan ada yang menamakannya sebagai Pahlawan Karbala, karena ia adalah satu-satunya wanita yang melindungi para tawanan yang terdiri dari keluarga Bani Hasyim. Dalam posisi genting tersebut, ia siap mengorbankan jiwanya demi membela seorang anak kecil yang sedang menderita, Ali Zainal Abidin bin Husain. Dari peristiwa inilah ia disebut sebagai Ummu Hasyim. Bahkan sebagian sejarawan menambahkan bahwa sikap Sayyidah Zainab setelah peperangan itulah yang menjadikan Karbala sebagai tragedi yang terus dikenang.

Biografi Sayyidah Zainab sudah tidak asing lagi. Ayahnya adalah Ali bin Abi Thalib radiallahu 'anhu, dan kakek dari jalur ibunya adalah Muhammad, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Ibunya adalah Fatimah al-Batul radiallahu 'anha, dan nenek dari pihak ibunya adalah Khadijah bintu Khuwailid radiallahu 'anha, Ummul Mukminin pertama. Saudara kandungnya adalah al-Hasan dan Husain, cucu Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.

Sayyidah Zainab dilahirkan pada tahun enam hijriyah di Madinah Munawwarah dan kakeknya, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. menamakannya Zainab. Nama ini adalah untuk mengenang putir beliau yang wafat pada tahun kedua hijrah akibat luka yang dideritanya. Kala itu, tepatnya setelah perang Badar, beliau (Sayyidah Zainab-putri Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam) pergi ke Madinah. Ketika di perjalanan ia bertemu seorang musyrik, lalu orang musyrik tersebut menusuk perutnya yang sedang mengandung. Akibatnya beliau keguguran kemudian meninggal. Kejadian itu meninggalkan perasaan sedih di hati Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. hingga ketika Fathimah, putri beliau, melahirkan anaknya yang pertama, beliau menamakannya Zainab. Zainab tumbuh dalam asuhan kakeknya, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi menjelang umurnya genap lima tahun, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. dipanggil Allah SWT. Sepeninggal Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. hari-harinya diliputi kesedihan. Ibunya, Fathimah radiallahu 'anha, tercatat tidak pernah tersenyum setelah kejadian tersebut. Bahkan dalam catatan sejarah, Fathimah bintu Rasulillah sallallahu 'alaihi wasallam. terhitung sebagai salah seorang tokoh yang paling banyak menangis, yang semuanya terdiri dari enam tokoh. Keenam tokoh tersebut adalah Adam 'alaihis salam karena penyesalannya, Nuh 'alaihis salam karena kaumnya, Ya’kub 'alaihis salam karena anaknya Yusuf 'alaihis salam, Yahya 'alaihis salam karena takut dari api neraka dan Fathimah radiallahu 'anha karena kematian ayahnya. Kemudian setelah beberapa bulan, Fathimah radiallahu 'anha. menyusul ayahnya di pangkuan Ilahi. Ada yang mengatakan bahwa Fathimah radiallahu 'anha meninggal setelah enam bulan berlalu dari wafatnya Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Ada juga yang mengatakan tiga bulan dan ada juga lebih dari itu.

Demikianlah, perjalanan hidup Sayyidah Zainab dilalui dengan kesedihan karena kematian dua orang yang paling ia cintai. Dan pada waktu yang sama, ia harus bertanggung jawab atas saudara-saudaranya, Hasan, Husain dan Ummu Kultsum, sehingga ia pun berposisi sebagai ibu pengganti bagi mereka.

Suami Zainab adalah anak pamannya sendiri, Abdullah bin Ja’far. Sejarah menyebutkan bahwa ia adalah orang yang terhormat dan mempunyai kedudukan tinggi di kalangan orang-orang sezamannya, baik dari pihak Bani Hasyim maupun dari Bani Umayyah. Ia juga dikenal dengan sifat muru`ah, dermawan, akhlak terpuji dan watak yang baik. Hingga karena kedermawanannya ia dijulujki dengan Quthbus Sakhaa` (Pusat Kederwananan).

Banyak catatan sejarah yang menyebutkan tentang kehidupan Sayyidah Zainab, akan tetapi tidak ada satupun yang menyebutkan ciri-cirinya ketika menjadi istri Abdullah bin Jakfar. Hal ini tak lain karena ketika di rumah ia selalu berada di belakang tabir dan selalu menutup dirinya. Dan ketika ia keluar pada peristiwa Karbala, Abdullah bin Ayyub al-Anshari melihatnya dan menyebutkan, “Demi Allah saya tidak pernah melihat wajah yang serupa dengannya, ia bagaikan belahan bulan purnama”. Al-Jahidz dalam bukunya al-Bayaan wat Tabyiin mengatakan bahwa kelembutan Sayyidah Zainab mirip dengan ibunya, sedangkan ilmu dan ketakwaannya mirip dengan ayahnya. Ia juga mempunyai majlis taklim tersendiri yang dihadiri oleh para wanita yang ingin belajar agama. Hal ini menunjukkan bahwa julukan Aqiilah bani Hasyim sangat cocok untuknya.

Riwayat yang rajih menyebutkan bahwa dari perkawinannya dengan Abdullah bin Jakfar, Sayyidah Zainab mempunyai dua orang putra, yaitu Jakfar dan Ali, dan dua orang putri, yaitu Ummu Kultsum dan Ummu Abdillah.

Sayyidah Zainab terus mengikuti peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada zamannya dari balik tabir di dalam rumahnya. Ia mendengar ayahnya mengarungi berbagai medan pertempuran, seperti Perang Jamal, Perang Shifin, lalu dengan orang-orang Khawarij di Nahrawan. Selama lima tahun di bawah kekhilafahan Ali radiallahu 'anhu. Kondisi dunia Islam tidak pernah tenang, lalu pada tahun 40H beliau meninggal dunia. Kemudian pada tahun 49H, saudaranya, Hasan, menyusul ibunya dan dikuburkan di Baqi’.

Kemudian setelah wafatnya Hasan, datanglah giliran Husain. Maka Sayyidah Zainab pun bersiap-siap untuk menghantarkan saudaranya menuju kursi kekhalifahan setelah diduduki oleh Bani Umayyah secara turun temurun. Lalu ia pun turut pergi ke Iraq, sebagaimana dua puluh tahun sebelumnya ia pergi ke sana bersama ayahnya. Dan dalam perjalanan tersebutlah, tepatnya di tempat yang bernama Karbala, Husain, saudaranya menemui syahadah. Lalu Sayyidah Zainab pun digiring bersama tawanan lainnya ke rumah gubernur Kufah kala itu, Abdullah bin Ziyad. Setelah itu Ziyad menyuruh agar Ali bin Husain dibunuh, namun Sayyidah Zainab menghalanginya dan Ziyad mengurungkan niyatnya.

Selanjutnya mereka digiring kembali ke Damaskus untuk dihadapkan kepada Yazid bin Mu’awiyyah. Dikisahkan bahwa ketika melihat kepala Husain, Yazid menitikkan air mata karena menyesali terjadinya pembunuhan tersebut. Kemudian Yazid memerintahkan Zainab untuk kembali ke Madinah.

Setelah semua peristiwa yang ia lalui, Zainab ingin menghabiskan sisa hidupnya di sisi kakeknya, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi Bani Umayyah tidak menginginkan hal itu, karena keberadaannya di Madinah dapat membangkitkan kemarahan orang-orang Madinah dan mendorong mereka untuk menuntut balas. Maka gubernur Madinah memintanya untuk meninggalkan Madinah. Kemudian ia pergi ke Mesir dan sampai pada bulan Sya’ban tahun 61H sebagaimana disebutkan sebagian besar buku sejarah. Kedatangannya di Mesir pun disambut hangat oleh Maslamah bin Makhlad al-Anshari, gubernur Mesir kala itu dan oleh penduduk Mesir. Kemudian Maslamah menjamunya di rumahnya dan ia tinggal di sana sekitar satu tahun lalu meninggal pada tahun 62H.

Deskripsi Masjid Sayyidah Zainab

Masjid ini terletak di alun-alun Sayyidah Zainab (miidaan Sayyidah Zainab). Sebelumnya tempat ini dikenal dengan Qantharatus Subaa’ (Jembatan segi tujuh). Penamaan ini dinisbatkan kepada ukiran segi tujuh yang terletak di atas hulu teluk Nil. Segi tujuh ini merupakan lambang pangkat Zhahir Bebers, sang pembangun jembatan. Pada tahun 1315H/1898M bagian tengah dari teluk Nil tersebut ditutup dengan tanah dan dilakukan pelebaran terhadap alun-alun, sehingga jembatan Qantharatus Subaa’ pun dihancurkan. Ketika pelebaran alun-alun dilakukan, ditemukan bagian depan Masjid Sayyidah Zainab yang sebelumnya telah direnovasi oleh gubernur Utsmani, ‘Ali Pasya, yaitu pada tahun 951H/1547M. Kemudian masjid tersebut diperbaharui lagi oleh Gubernur Abdurrahman Katekhda pada tahun 1170H/1768M. Sejak ditemukan bagian depan masjid Sayyidah Zainab pada abad X1X, maka alun-alun dan bahkan seluruh daerah tersebut, dinamakan dengan Sayyidah Zainab.

Pada tahun 1940 M, Kementrian Wakaf Mesir membangun masjid Sayyidah Zainab sebagaimana yang ada saat ini. Masjid tersebut terdiri dari tujuh serambi depan yang sejajar dengan kiblat, yang di tengah-tengahnya terdapat ruangan persegi empat yang di naungi oleh kubbah. Dan di sisi kiri masjid tersebut terdapat makam Sayyidah Zainab.

Di bagian depan masjid sebelah utara, terdapat dua ruangan dengan dua pintu masuk utama, yang dipisahkan oleh ruangan berbentuk persegi panjang (Syekhsyekhah). Di sisi Barat Laut masjid terdapat maka Sayyid al-‘Atris.

Kemudian Kementrian Wakaf Mesir melakukan pelebaran masjid dengan menambahkan 17 x 32 dari ukuran masjid yang asli. Pada tahun 1969M Kementrian Wakaf kembali melakukan pelebaran dengan menambahkan ruangan yang sama dengan ukuran masjid asli. Dengan demikian tambahan pertama memisahkan antara masjid yang asli dengan tambahan terakhir. Di tengah-tengah ruangan tambahan pertama ini dibuat mihrab dengan tetap menjaga mihrab yang lama. Dan di tengah-tengah ruangan tambahan kedua, terdapat ruangan tengah yang juga di naungi oleh qubbah yang berhadapan dengan makam Sayyidah Zainab. Di sisi depan bagian barat terdapat dua pintu masuk, salah satunya berada di tengah renovasi pertama dan yang kedua di tengah renovasi kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar