Selasa, Maret 24, 2009

MENDISIPLINKAN TUBUH TERORIS

Oleh: Ariyanto, penikmat syariah, alumnus S-2 Ilmu Filsafat UI, Depok

Teroris terus memproduksi kekerasan di seantero dunia. Mereka tak hanya melahirkan kekerasan fisik dengan menumpahkan darah, tapi juga kekerasan psikologis dengan menebar ancaman hingga membuat orang ketakutan. Ironisnya, meski banyak dikutuk dan bahkan pelakunya dihukum mati, tetap saja aksi tak berperikemanusiaan itu dilakukan. Tak mengenal kata takut mati. Kematian justru yang selama ini dicari. Mereka sangat yakin bahwa kematian justru akan segera mengantarkan dirinya kepada kehidupan baru yang lebih baik.

Mereka mengimani sekali hal ini karena janji itu ada di kitab suci. Teks-teks suci telah mengilhaminya. Dalam berbagai kesempatan, di antara pendakwah juga memproduksi wacana itu terus menerus dengan mengutip teks-teks suci keagamaan. Kebetulannya lagi memang banyak ayat yang jika dipahami secara parsial, seolah-olah hamba beriman diperintahkan untuk membunuh orang kafir.

Akhirnya atas nama agama–dan tentu saja mereka merasa tidak berdosa dan bahkan berpahala besar–melakukan serangkaian teror. Masalahnya memang agama dijadikan alat justifikasi untuk melegitimasi perbuatan mereka. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?

Setiap ada aksi terorisme selalu diikuti kalimat kutukan dari berbagai pihak. Kutukan terhadap hal-hal yang patut dikutuk tentu saja baik. Namun kutukan berulang-ulang saja tak cukup untuk menghentikan. Jauh lebih progresif jika memikirkan bagaimana memberikan hukuman maksimal kepada teroris sehingga bisa memberikan efek jera. Pertanyaan ini harus dicarikan jawabannya karena kasus ini sangat membahayakan manusia.

Jika ini pertanyaannya, berarti kita berbicara mengenai bagaimana teknik menghukum yang efektif dan efisien. Selama ini model yang diterapkan adalah hukuman mati seperti dilakukan terhadap pelaku bom Bali, yaitu Mukhlas, Amrozi, dan Imam Samudera. Tubuh mereka yang menjadi sasaran utama penghukuman dengan cara ditembak mati dimaksudkan untuk memberikan keadilan dari sisi korban dan agar tidak terulangnya kembali perbuatan itu. Para pengikutnya juga diharapkan tidak mengikuti jejak mereka lagi. Efektifkah cara ini?

Tubuh yang Patuh

Model hukuman yang diarahkan langsung ke tubuh mengingatkan pada kajian filsuf posmodernisme asal Prancis Michel Foucault (1926–1984). Di dalam bukunya berjudul Surveiller et Punir: Naissance de la Prison atau Discipline and Punish: The Birth of the Prison dalam edisi bahasa Inggrisnya, Foucault mengkaji bagaimana kekuasaan mengerahkan teknik-teknik tertentu untuk menghukum siapa saja yang dianggap melanggar.

Dalam bagian pertama buku Discipline and Punish (1977) berjudul Torture, Foucault menguraikan strategi menghukum pada abad ke-17 dan awal abad ke-18 yang menyentuh tubuh (The body of the Condemned). Siksaan merupakan teknologi politis atas tubuh yang secara nyata tampil dalam prosedur hukuman publik yang kejam maupun dalam penyiksaan untuk pengakuan dari tertuduh.

Tapi pada abad ke-18 dan ke-19 strategi hukuman fisik seperti itu mulai bergeser. Dari siksaan publik ke bentuk penjara. Tubuh di sini tidak langsung disentuh, melainkan hanya menjadi media. Hukuman menyentuh kedalaman hati, pemikiran, kehendak dan kecenderungan. Penjahat dihukum dengan ekonomi hukuman baru, yakni hukuman internal yang disesuaikan dengan perkembangan individu, menetralkan bahayanya dan mengubah kecenderungan jahatnya (1977:3–4). Kita pilih mana?

Ketika proses pemakaman Amrozi Cs di Lamongan, Jawa Timur, dan di Banten, terdengar berkali-kali pekikan ’’Allahu Akbar’’ dan ancaman tuntutan balasan. Ini menunjukkan eksekusi mati trio bomber di Bukit Nirbaya, Nusakambangan, pukul 00.15 WIB, 9 November 2008, itu hanya akan mengobarkan semangat ’’jihad’’. Jangan dianggap otak peledakan bom Bali itu mati. Mereka itu sesungguhnya hidup. Hidup dalam jiwa dan pikiran para penerus atau kader-kadernya.

Barangkali, bisa lebih efektif jika mereka dipenjara hingga mati saja. Selama dihukum, kita bisa berusaha mendisiplinkan tubuh dan pikiran mereka dengan dialog. Bukan melalui represi, penindasan, dan intimidasi, melainkan melalui regulasi dan normalisasi–yaitu apa yang dinamakan Foucault menjaga dan menghukum sebagai disiplin–mereka bisa tercerahkan. Bisa memproduksi manusia atau individu yang dapat diperlakukan sebagai ’’tubuh yang patuh’’ (docile bodies) dan sekaligus produktif.

Mendialogkan Episteme

Menetralkan bahaya teroris dan mengubah kecenderungan jahatnya bukan dengan cara hukuman mati. Tapi dengan membongkar wacana kebenaran yang mereka gunakan atau meruntuhkan rezim kebenaran mereka (A regime of truth) dengan dalil-dalil yang dapat meyakinkan mereka.
Sebelum meruntuhkan rezim kebenaran, perlu diketahui sebenarnya darimanakah asal kebenaran itu? Menurut Foucault dalam bukunya Power/Knowledge (1980:133), nilai-nilai tertinggi atau kebenaran berasal dari episteme, yaitu keseluruhan pola berpikir dengan sistem wacana yang digunakan. Jadi kebenaran terjalin secara intrinsik dalam relasi antara wacana yang digunakan manusia untuk mengungkapkan kebenaran itu, sistem kekuasaan yang berlaku, dan kedudukan subjek-subjek yang terlibat.

Wacana yang digunakan orang yang ’’berjihad’’ atau ’’mujahid’’ bersumber dari teks-teks suci keagamaan. Maka, untuk menggoyahkan wacana kebenaran mereka, lebih tepat jika merujuk dalil-dalil agama. Misalnya, dalil yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad diutus Tuhan tidak lain untuk seluruh umat manusia dan memberikan rahmat kepada seluruh alam, bukan menumpahkan darah. Sebab, salah satu tujuan hukum Islam (maqoshid al-syari’ah) adalah memelihara kehidupan, bukannya menegasikan kehidupan (al-muhafadzatu linnafsi) (QS Al-Anbiyaa’: 107).

Setelah melalui dialog episteme dengan harapan dapat membuka ruang multiepisteme, langkah berikutnya membuat semacam–meminjam istilahnya Foucault–panopticism. Yaitu ’’menara pengawas’’ yang seolah-olah secara kontinu memonitor segala gerak orang-orang yang dipenjara, meski pengawasannya diskontinu. Panopticism bisa dengan memasang CCTV (closed circuit television) di tempat-tempat vital yang kerap menjadi target teroris seperti bandara, stasiun, terminal, pusat perbelanjaan, perhotelan, ikon-ikon serta simbol-simbol negara yang selama ini dianggap kafir oleh teroris.

Masyarakat juga bisa menjadi ’’menara pengawas’’ dengan meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan orang-orang mencurigakan. Model sistem keamanan keliling (siskamling) mungkin bisa menjadi salah satu cara efektif. Begitu pula Badan Intelijen Indonesia (BIN), TNI maupun Polri. Mereka harus bersinergi agar segala bentuk teror dapat digagalkan. Negara-negara di dunia juga harus menjalin kerja sama di dalam memberantas kejahatan terhadap kemanusiaan ini, karena jaringan terorisme ini sudah mengglobal.***

http://www.gp-ansor.org/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar